![]() |
Laporan DoD 2024 Ungkap Cara Tiongkok Memanfaatkan Krisis Dunia untuk Mengerek Pengaruh. |
Star News INDONESIA, Kamis, (03 Juli 2025). JAKARTA - Analisis gabungan laporan Departemen Pertahanan AS, lembaga think‑tank, dan studi akademik terbaru mengindikasikan bahwa Beijing tengah menjalankan strategi multi‑dimensi—dari perang informasi hingga diplomasi bantuan—untuk membentuk ulang tatanan dunia.
Para pakar menilai strategi ini sengaja memanfaatkan krisis global agar China tampil sebagai kekuatan “penyelamat”, sementara rival utamanya kehabisan sumber daya. (sumber : media.defense.gov)
Para penyusun “China Military Power Report 2024” menggambarkan evolusi misi PLA dari “pertahanan pantai” menjadi “perlindungan laut lepas”, lengkap dengan jaringan logistik luar negeri yang dirancang “mengganggu operasi militer AS” bila pecah konflik di berbagai front. (Sumber : media.defense.gov)
Kajian RAND Corporation—Thinking Through Protracted War with China*—memodelkan sembilan skenario perang panjang di mana Beijing berupaya “membebani” Amerika melalui konflik simultan di teater Indo‑Pasifik, Timur Tengah, dan Eropa. RAND menilai strategi ini efektif bila PLA mampu “mengulur” durasi konfrontasi sehingga biaya politik di Washington melonjak. (Sumber : rand.org)
Kunci operasi di balik layar adalah doktrin “Three Warfares”: perang opini, perang psikologi, dan perang hukum. Bagian “Influence Operations” dalam laporan DoD 2024 menegaskan konsep ini digabung dengan cognitive domain operations untuk “mempolarisasi masyarakat lawan” sebelum satu peluru pun dilepaskan. (Sumber : media.defense.gov)
Contoh lapangan paling kasat mata muncul saat pandemi Covid‑19. Studi AidData (2024) membuktikan nada pemberitaan global terhadap Tiongkok “membaik signifikan” setelah gelombang mask diplomacy—sebuah upaya yang menurut MERICS, juga dijalankan sayap militer PLA ke 46 negara sasaran Belt & Road Initiative. (Sumber :aiddata.org dan merics.org)
Di domensi keras, laporan CSIS yang diungkap Washington Post Maret 2025 menyorot perusahaan galangan CSSC yang memproduksi lebih banyak tonase tahun lalu dibanding total produksi AS sejak Perang Dunia II. Penjualan kapal komersial ke klien Eropa dan Asia disebut “secara tak langsung mensubsidi modernisasi armada tempur” PLA Navy. (Sumber : washingtonpost.com)
Senator Mitch McConnell dalam pidato di CSIS Global Security Forum (Mei 2025) memperingatkan “celah besar antara ancaman dan respons Washington”, seraya menuding Beijing “membantu sponsor teror terbesar di Timur Tengah untuk menekan Amerika di banyak front”.
Laporan DoD yang sama juga menandai Djibouti sebagai pangkalan PLA pertama di luar negeri dan memprediksi “fasilitas tambahan” di Afrika, Timur Tengah, dan Pasifik—menciptakan jaringan yang dapat dipaketkan sebagai operasi kemanusiaan ketika krisis pecah, sekaligus menempatkan logistik militer siap pakai. (Sumber : media.defense.gov)
Jon Alterman dari CSIS menilai model ini mendayagunakan “chaos sebagai katalis diplomasi”—Beijing membiarkan tekanan konflik meningkat, lalu menawarkan mediasi, rekonstruksi, dan investasi BRI sebagai jalan keluar, sehingga menciptakan ketergantungan strategis baru. (Sumber : csis.org)
Meski bukti terbuka soal niat “menciptakan kehancuran global” masih bersifat inferensial, rangkaian doktrin, kapabilitas, dan praktik di lapangan menunjukkan pola konsisten: Beijing siap memanfaatkan setiap celah krisis—dari pandemi hingga blokade maritim—untuk memosisikan diri sebagai solusi tak tergantikan.
Para analis memperingatkan, jika Washington dan sekutunya tidak segera menyelaraskan strategi industri, diplomasi, dan informasi, narasi “penyelamat dunia” versi China bisa menjadi kenyataan sebelum komunitas internasional sempat menyadarinya.
Penulis : Sultan Hafidz
Editor : Meli Purba