Penjabat Walikota Kupang 2022 -2024 George, Herman, Jonas, atau?
ⒽⓄⓂⒺ

Penjabat Walikota Kupang 2022 -2024 George, Herman, Jonas, atau?

Rabu, Agustus 17, 2022

Johan Messakh/Sekretaris Kesbang Pol Kota Kupang

Star News INDONESIARabu (17 Agustus 2022)KOTA KUPANG - Perihal Penjabat Walikota Kupang (PWK) sudah pernah saya publis di rubric opini VN edisi Februari 2022. 

Tetapi kisruh penunjukan Penjabat Kepala Daerah belum lama ini menjadikan topic ini cukup seksi di terawang lagi. Di pertengahan tahun ini, nama Max Oder Sombu (Ex Kejari Kota Kupang/Karo Hukum Pemprov NTT dan George Hadjo (Karo Binsos Pemprov NTT) paling sering diperbincangkan petinggi dan politisi setempat sebagai calon penjabat walikota Kupang menggantikan  Jefri – Herman yang berakhir masa jabatannya pada 22 Agustus 2022 nanti; kini dijelang H-5  bermunculan beberapa nama seperti Herman Man (Wakil Walikota Kupang saat ini), Jonas Salean (Anggota  DPRD Prov. NTT) dan Jeheskial Loudoe (Ketua PRD Kota Kupang)…. Kog bisa???

Konsekwensi dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah – Wakil Kepala Daerah serentak nasional pada  November 2024 adalah terjadinya kekosongan jabatan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah. 


Terdapat  271 kepala daerah yang akan menjabat sampai 2024; terdiri dari tujuh gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota yang diangkat pada 2022 serta 17 gubernur, 115 bupati, dan 38 wali kota pada 2023. 


Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023, diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pilkada nasional 2024 (Pasal 201 ayat 9 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pilkada). 


Undang-undang ini juga mengatur Masa jabatan penjabat kepala daerah adalah 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikutnya dengan orang yang sama ataupun berbeda.  Dan penjabat kepala daerah diangkat dari aparatur sipil negara (ASN) yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya untuk pejabat gubernur dan JPT pratama untuk penjabat bupati/wali kota.


Kekosongan Pemimpin di  271 Daerah  merupakan peluang sekaligus tantangan  yang harus disikapi serius Pemerintah demi kebelangsungan Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan masyarkat  di daerah hingga terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepal Daerah Definitif.  Di satu sisi Durasi masa jabatan yang panjang, satu hingga dua tahun lebih, amatlah menggoda kalkulasi praktis politik. 


Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki sebagai “Matahari” tunggal di daerah amatlah berguna dalam penggalangan “energi” politis local hingga elektabilitas nasionional  Di sisi lainnya  berhadapan dengan kenyataan terbatasnya legitimasi rakyat  atas seorang Penjabat…. meskipun para penjabat tersebut memiliki wewenang yang hampir sama dengan kepala daerah definitif tetapi terbatas dan tidak mendapatkan legitimasi rakyat sehingga dikhawatirkan akan menganggu sirkulasi pemerintahan daerah dan penyelenggaraan pemerintah yang otonom.(Nani Nurhayati, Direktur Demokrasi Electoral Empowerment Partnership)


Kenyataan ini  berpotensi  menimbulkan kekisruhan di kalangan masyarakat maka jauh hari Mahkamah Konstitusi melalui  putusannya No.67/PUU/XIX/2021, No.15/PUU-XX/2022, No. 18/PUU-XX/2022 menyatakan bahwa proses pengisian jabatan Penjabat Kepala Daerah  haruslah  secara demokratis, transparan, dan akuntabel. Faktanya  pada gelombang pertama,..semenjak Lima penjabat gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada Kamis (12/5/2022) masing masing  Provinsi  Banten, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua Barat disuse penunjukan  43 penjabat  bupati atau wali kota oleh Mendagri, merebaklah berbagai persoalan.
Tokoh PBNU mengkritisi penunjukan sejumlah pensiunan perwira tinggi TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah. Penunjukan Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin  sebagai penjabat bupati Seram Bagian Barat, Maluku dan penunjukan Mayjen TNI Ahmad Mrzuki sebagai penjabat Gubernur Aceh  menjadi salah satu potret nyata proses pengangkatan penjabat kepala daerah yang mencederai demokrasi karena menentang UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia serta melanggar ketentuan UU Nomor  5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menggariskan jabatan struktural ASN yang dapat diisi Anggota TNI/Polri hanya berlaku di sepuluh kementerian/Lembaga, tidak termasuk Pemerintah Daerah “Mendagri ingin menghidupkan kembali dwifungsi ABRI”. Walau ada juga minus kritik misalnya ketika mendagri menunjuk Komisaris Jenderal Polisi Paulus Waterpauw sebagai penjabat gubernur papua barat. Karena penunjukan itu atas usulan Manjelis Rakyat Papua. Kasus Papoa Barat indikasi kuat bahwa bila proses itu demokratis plus trnsparan pasti accetabilitas public aakan tinggi.


Resistensi juga datang dari dua Gubernur. Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi menolak melantik penjabat Bupati Buton Selatan dan Muna Barat karena penjabat yang ditunjuk diluar yang diusulkan. Dengan alasan yang sama Gubernur Maluku Utara menolak melantik Penjabat Bupati Morotai.
Protes juga datang dari berbagai komunitas seperti PERLUDEM, FORMAPPI, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomo Daerah, DPR RI hingga yang paling anyar, OMBUDSMAN RI, Lembaga Negara yang Berwenang Melakukan Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Seluruh Indonesia menegaskan bahwa proses penunjukan penjabat kepala daerah oleh Mendagri itu MALLADMINISTRASI.


Minim Partisipasi Publik
Apa yang telah dilakukan Kemendagri dalam penunjukan 5 Penjabat Gubernur dan 43 Penjabat Bupati dan Walikota tidak transparan, akuntabel dan minimnya partisipasi publik. Putusan  MK perihal tersebut diabaikan. Saya sepakat dengan Nani Nurhayati, direktur Demokrasi Electoral Empowerment Partnership  yang menegaskan bahwa Pemerintah sendiri tidak menjelaskan kepada publik dasar mengapa orang-orang tersebut yang terpilih. Publik sama sekali tidak dilibatkan, bahkan usulannya saja tidak didengar. 


Hal ini tentu berpotensi membuka ruang gelap dengan mempermudah masuknya politik transaksional dan menimbulkan tanda tanya publik. Proses yang tidak demokratis ini telah jelas menutup keran masyarakat untuk menyampaikan masukan dan saran sehingga rentan penolakan dari masyarakat dan dapat berdampak buruk pada kemajuan daerah. Padahal, partisipasi publik menjadi jantungnya negara demokrasi. Jika proses tranparansi ini tidak berjalan hingga 2023, maka jangan berharap terpilih penjabat kepala daerah yang kompeten, berkapasitas, berintegritas serta memahami kondisi geopolitik daerah. Apalagi, tantangan yang akan dihadapi penjabat kepala daerah tidaklah mudah. Dia akan menghadapi kompleksitas pemilu dan pemilihan serentak 2024. Para penjabat kepala daerah harus benar-benar memprioritaskan pekerjaan di daerah. Mereka juga dituntut untuk dapat membangun komunikasi publik dengan baik dan mengendalikan netralitas ASN menjelang tahun politik.


Kental Kepentingan Politik
Nampaknya Pemerintah telah memberi perhatian serius atas keberatan  dari berbagai pihak seperti tersebut. Walau aturan teknis penangkatan penjabat Kepala Daerah menyongsong Pilkasa serentak nasional 2024 masih dalam penggodokan, namun beberapa waktu lalu saya mendapatkan informasi A1 bahwa Mendagri telah meminta DPRD Kota Kupang sebagai representasi rakyat Kota Kupang menyampaikan usulan calon penjabat Walikota Kupang. Beberapa pihak, seperti Gubernur NTT,  pimpinan Ormas dan Tokoh politik tertentu juga diminta menyampaikan usulan ke Mendagri. Dari sinilah menyeruak sejumlah nama seperti Jonas Salean, Hermanus Mann, Jeheskial Loudoe dan beberapa nama lain mendampingi George Hadjo yang diusulkan Gubernur NTT.


Siapakah yang berpeluang??? Disinilah sebenarnya kentalnya kepentingan politik akan mengemuka. Selain George Hadjo, Nama-nama tersebut di atas  sudah menjadi pengetahuan masyarakat Kota Kupang, sebagai orang orang yang berniat  maju sebagai Calon Walikota  2024 – 2029. Sesuai aturan penjabat tak dibolehkan maju sebagi calon. Maka sekenarionya adalah jika diantara mereka yang akan ditunjuk menjadi  penjabat Walikota, maka hanya akan menjalani 1 tahun masa jabatan agar bisa maju sebagai calon Walikota 2024.

 

Disinilah Konsesi  politik yang rumit akan berlangsung. Hampir dapat dipastikan PDIP sebagai pemenang politik 2019 akan memainkan peranan sentral. Menguasai porsi terbanyak  Penjabat Kepala Daerah di Daerah Kantong , sementara  di Daerah dimana “dikuasai” parpol lain sangatlah mungkin terjadi berbagi kesempatan memimpin. Dengan kalkuasi  demikian selain berpeluang mengelola mayorits sumber“energy” politik dan mendongkrak elektabilitas Partai dan figur  sekaligus juga menggalang potensi koalisi berjenjang yang solid dan berprospek pemenangan.

 
Kentalnya kepentingan politik ini menjadikan semua nama seperti tersebut di atas berpeluang menjadi Penjabat Walikota. Jonas, Jeheskial atau Herman Mann berpeluang menjadi penjabat Walikota Kupang 2022 – 2023, sementara George, Fahrensi Foenay, atau Max Oder Sombu  berpeluang menjadi Penjabat Walikota Kupang 2023 – 2024.  Atau mungkin saja sesorang yang selama ini “terabaikan” oleh masyrakat dan Pemerintahan setempat, tetapi Pemerintah Pusat ya tahu pasti bahwa yang bersangkutan telh berbuat banyak untuk masyarakat dan daerah.

 

Politik itu dinamis karenanya berbagai varian, ornament hingga kehendak di dalamnya   terus berdinamika hingga bahkan tak ada kawan sejati dan musuh abadi di dalamnya…sampai  akhirnya segala kemungkinan bisa saja terjadi mengikuti kepentingan yang mengarusutamakan kepentingan rakyat  Itulah politik sebagaimana dimaksudkan  Teori Klasik Aristoteles  yaitu sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama ... Siapapun dia, Welcome, selamat datang  dikancah pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat yang papah ini…. Yang sangat membutuhkan segera sentuhan hati tulus, berintegritas dan profesional


Penulis : Berto Da Costa

Editor : Fajar Ali

🅵🅾🆃🅾 🆃🅴🆁🅱🅰🆁🆄 :

Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler