![]() |
Kunjungan Presiden Xi ke Iran – Menggambarkan hubungan erat Beijing–Teheran, menunjukkan kedekatan politik dan diplomatik. Foto : Istimewa |
Star News INDONESIA, Rabu, (02 Juli 2025). JAKARTA - Serangan mengejutkan Hamas ke Israel pada Oktober 2023 dan keterlibatan Iran dalam bentrokan terbuka dengan Yerusalem dan Washington tahun ini memicu gelombang spekulasi baru di kalangan komunitas intelijen global.
Satu hipotesis yang kini mencuat ke permukaan: bahwa dalang utamanya bukan Iran, bukan Rusia, melainkan Tiongkok.
Menurut analisis sejumlah mantan pejabat intelijen Barat, strategi Beijing tampaknya bertujuan mendorong kekuatan-kekuatan besar dunia—Amerika Serikat, Israel, NATO, Rusia, hingga Iran—masuk ke dalam konflik multi-front yang menghancurkan.
Jika itu tercapai, hanya satu negara adidaya yang tersisa berdiri tegak: Republik Rakyat Tiongkok.
Langkah-langkah Beijing selama dua tahun terakhir memperlihatkan pola konsisten. Dari peran sebagai mediator dalam rekonsiliasi Arab Saudi–Iran hingga menjadi tuan rumah kesepakatan langka antara Hamas dan Fatah, Beijing memperluas pengaruhnya di kawasan yang selama ini didominasi kekuatan Barat.
“Setiap upaya diplomatik itu ibarat utang politik,” ujar Gil Mazur, mantan perwira intelijen Israel. “Saat Beijing menolong, ia menanamkan cengkeramannya. Dana untuk Hamas, teknologi untuk Iran—semua bisa diberikan, tapi dengan imbalan.”
Kapal-kapal tanker Tiongkok diketahui menyerap sebagian besar minyak murah Iran dalam beberapa bulan sebelum konflik Iran–Israel meningkat.
Dana dari hasil penjualan itu, menurut pejabat intelijen Eropa, mengalir ke milisi-milisi di Lebanon, Suriah, hingga Yaman.
Sementara itu, para analis Barat khawatir bahwa setiap roket yang ditembakkan di Timur Tengah justru mengalihkan fokus militer Amerika dan Eropa dari kawasan Indo-Pasifik, membuka jalan bagi ekspansi Tiongkok di Laut Cina Selatan dan sekitarnya.
“Jika Rusia ikut membantu Iran, mereka akan makin terkuras,” ujar seorang pejabat NATO. “Dan saat itulah Tiongkok tampil sebagai satu-satunya kekuatan tak tersentuh di Eurasia.”
Namun, pengaruh Beijing bukan tanpa batas. Ketidakstabilan dalam negeri seperti protes buruh dan perlambatan ekonomi akibat tarif AS menjadi tekanan internal yang serius.
Meski otoritas Tiongkok memperketat undang-undang anti-mata-mata dan membatasi akses asing, intelijen AS disebut telah membangun kembali jaringannya di wilayah tersebut, memanfaatkan ketidakpuasan warga dan kebisingan digital sebagai celah masuk.
Di sisi lain, Barat kini meningkatkan pengawasan terhadap rantai pasokan global. Aliran senjata, komponen drone, chip buatan Tiongkok, hingga transaksi kripto sedang ditelusuri untuk mengungkap keterkaitan dengan kelompok militan.
“Jika Beijing benar-benar terlibat, jejaknya akan ada di data logistik,” kata perwira GCHQ Inggris.
Sementara bukti konkret keterlibatan Tiongkok masih samar, persepsi bahwa negara itu memainkan peran di balik layar sudah cukup mengguncang geopolitik global.
Negara-negara Teluk kini mulai mempertimbangkan kembali kedekatannya dengan Beijing, dan AS disebut tengah menyusun sanksi tambahan terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok yang terlibat dalam penyediaan teknologi ganda.
Tiongkok selama ini membangun kekuatannya di tengah konflik orang lain. Namun, strategi membakar dunia dari jauh bisa menjadi bumerang—dan membuka peluang bagi dunia untuk melihat keretakan dalam baju zirah sang naga.
Penulis : Deni Suprapto
Editor : Kartika Manalu