Penjajahan Tiongkok di Tibet: Dunia Harus Buka Mata
ⒽⓄⓂⒺ

Penjajahan Tiongkok di Tibet: Dunia Harus Buka Mata

Rabu, Juli 02, 2025
Seventeen Point Agreement: Kesepakatan Palsu di Bawah Bayang Senjata Beijing, Saatnya Dunia Memandang Tibet.


Star News INDONESIARabu, (02 Juli 2025). JAKARTA - Tibet bukan sekadar dataran tinggi yang sunyi di Himalaya. Di balik pegunungan itu tersimpan sejarah kemerdekaan yang selama ini dikubur oleh narasi resmi Beijing. 


Sebelum tahun 1950, Tibet menjalankan pemerintahan sendiri, dengan sistem politik, budaya, dan agama yang terpisah dari Tiongkok. 


Tibet memiliki bendera, mata uang, dan sistem hukum sendiri. Dalai Lama bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga kepala pemerintahan de facto. 


Tidak ada pasukan Tiongkok di wilayah itu. Fakta-fakta historis ini menguatkan bahwa Tibet pernah menjadi negara merdeka sebelum invasi militer Tiongkok.


Namun segalanya berubah pada Oktober 1950, ketika Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok masuk ke wilayah Tibet, memulai apa yang disebut Beijing sebagai “pembebasan damai”. 


Dalam kenyataannya, itu adalah operasi militer berskala penuh yang membuka jalan bagi penguasaan penuh atas Tibet.


Pada Mei 1951, tekanan militer memaksa para pejabat Tibet untuk menandatangani “Seventeen Point Agreement”, sebuah perjanjian yang konon melegalkan masuknya Tibet ke dalam Republik Rakyat Tiongkok.


Namun, para penandatangan dokumen itu melakukannya dalam pengawasan ketat militer Tiongkok di Beijing, tanpa restu dari Dalai Lama dan rakyat Tibet secara umum.


Sejumlah pakar hukum internasional dan aktivis HAM pernah menyebut perjanjian itu tidak sah. “Sebuah kesepakatan yang ditandatangani di bawah ancaman senjata tidak memiliki legitimasi hukum,” kata Profesor Michael van Walt van Praag, penasihat hukum Pemerintah Tibet di pengasingan.


Sejak saat itu, Tibet menjadi wilayah yang mengalami penindasan sistematis, mulai dari penghancuran budaya, pengekangan kebebasan beragama, hingga penangkapan massal para aktivis. 


Laporan dari Amnesty International dan Human Rights Watch mencatat pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi hingga hari ini.


Para pengamat internasional menyerukan dunia untuk tidak lagi tinggal diam. “Saatnya dunia berhenti tunduk pada kekuatan ekonomi Beijing dan membela nilai-nilai kemerdekaan serta hak menentukan nasib sendiri,” tegas Dr. Lobsang Sangay, mantan Presiden Pemerintah Tibet di Pengasingan.


Lebih dari sekadar wilayah geopolitik, Tibet adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme modern. Penjajahan bukan hanya sejarah masa lalu—Tibet adalah buktinya yang masih hidup.


Kini, dunia menghadapi pilihan moral: tetap diam demi stabilitas politik, atau berdiri dan menyerukan kemerdekaan Tibet yang telah dirampas.


Penulis : Ilham Hamid

Editor : Burhanudin Iskandar

🅵🅾🆃🅾 🆃🅴🆁🅱🅰🆁🆄 :




Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler