![]() |
Hubungan dagang AS-Kanada semakin tegang, usai Trump berlakukan tarif 35 persen. Foto : Reuters |
Star News INDONESIA, Jumat, (11 Juli 2025). JAKARTA - Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Kanada semakin meningkat menyusul keputusan Presiden Donald Trump memberlakukan tarif 35 persen terhadap seluruh barang impor dari Kanada.
Kebijakan ini diperkirakan dapat mengguncang stabilitas Perjanjian Amerika Serikat–Meksiko–Kanada (USMCA), yang baru berlaku sejak 2020.
Trump sebelumnya menyepakati pengecualian untuk barang-barang di bawah USMCA, namun surat terbaru ke Kanada menyiratkan bahwa pengecualian itu dapat dicabut sewaktu-waktu.
Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan pelaku bisnis lintas batas yang mengandalkan kesepakatan perdagangan bebas tersebut.
Seorang pejabat senior pemerintahan menyatakan bahwa keputusan final mengenai pengecualian tarif di bawah USMCA “masih ditinjau ulang”.
Jika benar dicabut, maka pengenaan tarif akan berlaku menyeluruh pada semua produk, tak terkecuali yang berada di bawah skema bebas bea.
Para pengamat menyoroti bahwa keputusan Trump juga berkaitan dengan sidang pengadilan banding federal yang akan digelar pada 31 Juli mendatang.
Sidang tersebut akan menentukan apakah Trump melampaui wewenangnya saat memberlakukan tarif tanpa adanya keadaan darurat nasional.
Jika pengadilan memutuskan bahwa Trump tidak berwenang, maka tarif-tarif tersebut bisa saja dibatalkan, setidaknya sementara waktu.
Namun, jika Trump menang, maka kekuasaan eksekutif dalam hal kebijakan perdagangan akan makin luas.
Pemerintah Kanada dan Meksiko kini berada dalam posisi sulit. Keduanya harus memilih antara melawan kebijakan tarif Trump atau menegosiasikan ulang USMCA dari posisi yang lebih lemah.
Di dalam negeri, sejumlah pengusaha AS mulai menyuarakan penolakan terhadap tarif baru, karena dapat mengganggu stabilitas harga dan pasokan bahan baku.
Industri otomotif menjadi yang paling terdampak karena memiliki rantai produksi lintas negara.
Dengan masa peninjauan ulang USMCA yang dijadwalkan pada Juli 2026, banyak pihak khawatir bahwa perang dagang ini dapat membatalkan atau setidaknya membekukan perjanjian tersebut—mengembalikan Amerika Utara ke era proteksionisme.
Penulis : Eddie Lim
Editor : Willy Rikardus