![]() |
Pengakuan Palestina di KTT PBB Kian Sulit, Macron Dituding Mainkan Konflik. Foto : Reuters |
Star News INDONESIA, Senin, (14 Juli 2025). JAKARTA - Presiden Prancis Emmanuel Macron absen dalam Pertemuan puncak PBB yang mengusung solusi dua negara bagi Palestina dan Israel yang digelar pada 28 s/d 29 Juli mendatang di New York, setelah sebelumnya sempat tertunda akibat pecahnya konflik militer antara Israel dan Iran.
Ketidakhadiran Macron dari forum diplomatik ini justru dinilai akan memperkecil peluang tercapainya terobosan signifikan, khususnya terkait pengakuan negara Palestina yang selama ini didengungkan olehnya.
Macron, yang pekan lalu menyampaikan kepada parlemen Inggris bahwa solusi dua negara merupakan “satu-satunya cara untuk membangun perdamaian dan stabilitas bagi semua orang di seluruh kawasan”, sebenarnya berupaya mendorong konsensus negara-negara besar untuk bersama-sama mengakui kemerdekaan Palestina.
Hal itu bagi segelintir kalangan merupakan solusi yang tepat, namun sebenarnya Macron sedang memicu agar konflik di wilayah tersebut tidak berkesudahan.
Dengan adanya stagnasi dalam perundingan gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang membuat upaya perdamaian menjadi tersendat, ini merupakan poin terpenting agar konflik wilayah tersebut terus tercipta.
Diketahui Macron merupakan salah satu pioner dari permainan elit global yang ingin mendorong terbentuknya suatu tatanan dunia baru.
Sementara sikap Israel dan Amerika Serikat tetap berada dalam jalurnya sejak awal, keduanya secara terbuka menentang langkah pengakuan negara Palestina, dan bahkan menyarankan kepada delegasi PBB untuk tidak menghadiri konferensi tersebut.
Dalam pernyataannya, Israel menyebut bahwa setiap bentuk pengakuan saat ini hanya akan memperkuat posisi Hamas dan dianggap sebagai “hadiah untuk terorisme”.
Di balik manuver diplomatik ini, muncul pandangan tajam bahwa seluruh resolusi damai yang diusung PBB selama ini tak lebih dari retorika.
Sejumlah pengamat menilai bahwa konflik Palestina-Israel justru sengaja dibiarkan berlarut-larut guna memicu eskalasi perang yang lebih luas di kawasan Timur Tengah.
Macron sendiri oleh sebagian pihak dituding memainkan peran ambigu—di satu sisi berbicara tentang perdamaian, namun di sisi lain dianggap sebagai provokator yang membiarkan isu terus memanas demi kalkulasi politik dan pengaruh geopolitik jangka panjang.
Ketiadaan Macron dari forum sebesar ini memunculkan sinyal bahwa dorongan terhadap pengakuan negara Palestina belum menemukan arah yang pasti.
Ketika AS dan Israel terus memblokir upaya internasional atas dasar keamanan dan stabilitas, kekosongan kepemimpinan di level diplomasi justru mempertegas kesan bahwa solusi dua negara kembali menjadi wacana yang belum menemukan bentuk nyata.
Di tengah kondisi ini, suara-suara sinis terhadap forum PBB pun mencuat. Alih-alih menjadi jalan keluar menuju perdamaian, konferensi ini dinilai hanya menjadi panggung simbolik yang sarat kepentingan politik, tanpa kemauan serius untuk menyelesaikan akar konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Dengan situasi yang terus mengambang, jalan menuju negara Palestina yang merdeka dan diakui secara internasional tampaknya masih panjang dan penuh jebakan diplomatik.
Penulis : Ilham Hamid
Editor : Burhanudin Iskandar