Star News INDONESIA, Minggu, (13 Juli 2025). JAKARTA - Tanda-tanda akhir zaman sudah semakin dekat dan dunia saat ini sedang digiring untuk menuju sebuah tatanan baru (New Era) oleh kelompok 9 elit global penyembah Lucis Arkhein (Lucifer/Setan)
Untuk mewujudkan suatu tatanan baru, rekayasa geopolitik global telah dimulai sekarang ini. Amerika Serikat yang awalnya merupakan negara Adidaya dan superpower harus dilengserkan.
Berbagai persenjataan canggih, strategi intelijen, hingga kekuatan ekonomi telah disabotase oleh elit negara itu sendiri dan memberikannya kepada Tiongkok.
Tokoh-tokoh besar AS mulai dari intelijen, pebisnis hingga elit politik hampir semuanya terlibat dalam skema tersebut.
Tujuannya adalah mempercepat teknologi Tiongkok agar mampu mengimbangi AS. Ketika China mampu mengembangkan Teknologi yang jelas-jalas dicuri dari AS dan mampu melewati negeri Adidaya itu, maka Blok Timur (China-Rusia-Iran) telah siap digiring untuk berperang melawan Blok Barat (AS-NATO).
Perang besar ini merupakan skenario dimana setelah kehancuran maksimal terjadi diantara kedua belah pihak, maka siasat krisis ekonomi dunia mulai dijalankan.
Hal ini akan mengakibatkan seluruh mata uang di dunia tidak akan berlaku lagi, sehingga akan muncul seorang yang telah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dunia untuk menawarkan solusi perdamaian dunia dengan membangun kembali suatu tatanan baru yaitu SATU PEMERINTAHAN, SATU SISTEM EKONOMI, dan SATU MATA UANG DIGITAL.
Inilah kebangkitan Babel (Babel merupakan bangsa kuno dan angkatan Manusia yang ke-33 sejak zaman Adam_red) yaitu dimana semua manusia berada dalam satu komando dan satu sistem.
Saatnya manusia waspada dan berhati-hati sebab ketika waktunya tiba, semua manusia kecil maupun besar akan diberikan suatu tanda yang berupa ID DIGITAL GLOBAL (Tak ada satupun yang dapat luput darinya). Penggunaan ID DIGITAL GLOBAL ini akan menimbulkan kesadaran baru yang sepenuhnya dikontrol oleh sebuah Sistem AI dan terpusat.
Tanpa tanda tersebut tak ada layanan kesehatan hingga transaksi ekonomi. Tanda ini telah terintegrasi dengan sistem pemerintahan, keamanan, hingga perbankan (Hal ini mengakibatkan tak ada satupun manusia dapat bertransaksi Jual/Beli jika tidak menggunakan tanda tersebut).
Tiongkok saat ini menjadi pusat riset semua teknologi barat yang berhasil dicuri. Parahnya teknologi AS yang telah berhasil dicuri, data aslinya ikut dihancurkan dan sistemnya turut dirusak oleh para agen-agen penghinat tersebut.
Ambisi besar Tiongkok untuk menjadi Adidaya, telah membuatnya dengan mudah terjebak dalam dinamika metageopolitik elit global dan agenda rahasia setan untuk menghancurkan dunia.
Retorika perang yang terus mempersalahkan Israel-AS dan didengungkan secara terus-menerus oleh media arus utama selama 3 dekade yang dikendalikan kelompok elit global telah berhasil menciptakan suasana konflik dunia.
Saat ini seluruh negara (kecuali ISRAEL) berada dalam kendali penuh kelompok elit global, hal ini terjadi karena semua negara telah kehilangan kedaulatan ekonominya, baik karena pemilik perusahaan-perusahaan besar yang berperan penting dalam mengendalikan kebijakan dan arah politik serta terjebak dalam perjanjian-perjanjian hutang luar negeri dengan IMF, Bank Dunia, dan BIS (Bank for International Settlements).
Perlu disadari bahwa krisis demi krisis yang direkayasa secara sistematis oleh kelompok elit global yang telah lama bercokol di jantung kekuasaan politik, keuangan, dan teknologi dunia secara perlahan tapi pasti.
Dari balik institusi-institusi internasional, lembaga keuangan besar, think-tank strategis, hingga jaringan intelijen bayangan, sekelompok aktor kunci menjalankan agenda untuk menciptakan satu pemerintahan dunia, satu sistem ekonomi universal, dan satu mata uang digital yang mengontrol seluruh umat manusia.
Agenda ini berakar dari ideologi teknokrasi dan globalisme—pandangan bahwa dunia akan lebih “efisien” jika dikendalikan secara terpusat oleh para ahli, bukan oleh pemerintahan nasional yang berdaulat.
Sehingga dalam kerangka ini, krisis bukanlah kegagalan, melainkan alat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Perang besar antara blok Timur dan Barat yang digadang-gadang akan pecah bukan sekadar konflik geopolitik, melainkan bagian dari orkestrasi strategis untuk menciptakan trauma global yang cukup besar sehingga dunia bersedia menerima solusi tunggal: pemerintahan global yang menjanjikan stabilitas dan perdamaian abadi.
Aktor-aktor utama di balik proyek ini bukanlah wajah-wajah publik yang terlihat di media. Mereka beroperasi dari balik layar kekuasaan.
Di antaranya adalah lembaga seperti World Economic Forum (WEF), yang secara terbuka mempromosikan konsep “The Great Reset”—sebuah restrukturisasi besar-besaran atas ekonomi dan masyarakat dunia pasca krisis global. Bersama dengan IMF, Bank Dunia, dan BIS (Bank for International Settlements), mereka mendorong sistem keuangan digital terpusat dan penghapusan uang fisik sebagai langkah awal menuju satu mata uang global.
Selain lembaga keuangan, korporasi teknologi raksasa seperti Google, Microsoft, Meta, dan perusahaan AI terkemuka memainkan peran penting dalam membangun infrastruktur digital yang memungkinkan pengawasan total dan kontrol sosial.
Program identitas digital global (Global Digital ID) menjadi senjata utama dalam strategi ini. Dengan alasan efisiensi, keamanan, dan akses global, manusia didorong untuk menerima identitas digital yang terhubung langsung dengan rekam biometrik, aktivitas keuangan, hingga opini politik mereka.
Di masa mendatang, semua akses terhadap layanan publik, pendidikan, kesehatan, bahkan hak untuk bepergian akan bergantung pada validitas ID digital ini.
Panggung geopolitik saat ini hanya menjadi permainan catur yang membenturkan kekuatan-kekuatan lama demi membuka ruang bagi kekuatan baru.
Amerika Serikat dan NATO memosisikan diri sebagai pembela demokrasi Barat, sementara Tiongkok dan Rusia tampil sebagai tandingan dari blok Timur.
Namun di balik permukaan konflik ini, terdapat skenario kolaboratif yang lebih dalam. Kedua blok sama-sama menjalankan strategi yang mengarah pada ketegangan maksimum: ekonomi global yang runtuh akibat sanksi-sanksi saling balas, krisis energi dan pangan, serta pecahnya perang regional yang dapat meluas menjadi konflik global.
Dari reruntuhan inilah, para perancang tatanan dunia baru akan menawarkan “jalan keluar” yang telah lama mereka persiapkan.
Pada tahap akhir, ketika umat manusia dilanda kelelahan psikologis dan kekacauan sosial, akan muncul sosok pemimpin global (Pax Mundi) yang dipromosikan sebagai pembawa damai.
Pax Mundi merupakan julukannya. Sosok ini bernama Azrael Amon El-Rafiq. Figur ini bukan sekadar pemimpin politik, tetapi simbol penyatuan dunia—gabungan dari teknologi, spiritualitas universal, dan narasi penyelamat.
Ia akan didukung oleh jaringan media global, legitimasi dari lembaga internasional, dan persetujuan dari sistem AI yang sudah dipercaya mengatur banyak aspek kehidupan manusia.
Pemimpin ini bukan hasil demokrasi, melainkan hasil kurasi panjang oleh kekuatan transnasional yang telah menyiapkannya dalam bayang-bayang selama puluhan tahun.
Pemerintahan dunia baru yang terbentuk akan bersifat teknokratik, tanpa batas geografis, dengan sistem ekonomi berbasis kredit sosial dan mata uang digital terpusat.
Semua transaksi, perilaku, bahkan pemikiran masyarakat akan dinilai dan diawasi secara real-time oleh sistem AI berbasis jaringan 6G atau lebih.
Dalam sistem ini, kebebasan individu bukanlah hak, melainkan privilese yang diberikan berdasarkan kepatuhan terhadap sistem.
Rekayasa sosial besar ini bukan teori konspirasi semata, melainkan skenario yang telah dijalankan secara bertahap melalui program-program global seperti Agenda 2030 PBB, transisi energi hijau yang dikendalikan, krisis pandemi yang memaksa lockdown digitalisasi, serta tren cashless society yang semakin dipaksakan. Semua ini adalah batu pijakan menuju titik kritis peralihan kekuasaan global.
Penulis : Cheryil Apriani
Editor : Regina Panjaitan