Star News INDONESIA, Kamis, (26 Juni 2025). JAKARTA - Kota Baotou, sebuah kawasan industri yang terletak di Inner Mongolia, Tiongkok Utara, kini menjadi perhatian global.
Di balik modernisasi teknologi yang dinikmati dunia—dari mobil listrik hingga sistem rudal canggih—tersimpan kisah kelam dari kota berpenduduk 2,7 juta jiwa ini.
Lebih dari 80% cadangan tanah jarang Tiongkok, termasuk jenis light rare earth elements seperti neodimium dan praseodimium, terletak di tambang Bayan Obo—hanya 120 km dari Baotou.
Unsur-unsur ini merupakan bahan baku vital untuk magnet permanen yang digunakan dalam turbin angin, ponsel pintar, kendaraan listrik, hingga alat pertahanan militer.
Setelah ditambang, bijih dari Bayan Obo diproses di kompleks industri Baotou. Namun di balik kilauan kemajuan itu, tersisa luka ekologis: limbah radioaktif dan kimia yang dibuang ke danau tailing buatan, menciptakan lanskap suram dan membahayakan kesehatan warga sekitar. Beberapa laporan menyebutkan peningkatan kasus kanker, gangguan kulit, serta rusaknya lahan pertanian.
“Anak saya mengalami ruam parah sejak kecil. Dokter bilang mungkin karena air,” ujar seorang warga lokal kepada The Guardian. “Tapi kami tak punya pilihan lain.”
Sementara dunia berlomba menciptakan ekosistem energi bersih, ironisnya bahan bakunya berasal dari kota yang belum sepenuhnya bersih dari pencemaran.
Pemerintah Tiongkok telah mengumumkan proyek “green smelting” dan teknologi pemrosesan bersih, namun hingga kini efeknya masih minim.
Tiongkok sendiri saat ini menguasai lebih dari 60% produksi dan 85% pemurnian tanah jarang dunia, menjadikannya pemain dominan dalam rantai pasok global. Negara-negara Barat mulai mencari alternatif, namun belum mampu menyaingi kapasitas dan efisiensi Baotou.
Dengan dilema antara kepentingan lingkungan, kesehatan publik, dan dominasi geopolitik, Baotou kini menjadi potret kompleks dari kemajuan modern: sebuah kota yang menopang masa depan dunia, namun sedang berjuang menyelamatkan dirinya sendiri.
Penulis : Eddie Lim
Editor : Willy Rikardus