Andre Lado PH Korban Penganiayaan Berat, Desak Polsek Maulafa Tuntaskan Proses Hukum
ⒽⓄⓂⒺ

Andre Lado PH Korban Penganiayaan Berat, Desak Polsek Maulafa Tuntaskan Proses Hukum

Senin, Oktober 20, 2025
Andre Lado, S.H., (kanan) selaku penasehat hukum Arianto Blegur saat bertemu Kapolsek Maulafa, AKP Fery Nur Alamsyah, S.H. (Foto : Dok. Redaksi)


Star News INDONESIASenin, (20 Oktober 2025). KOTA KUPANG - Kasus dugaan penganiayaan berat yang dialami oleh Arianto Blegur (30), warga Naikoten I, Kota Kupang, layak menjadi sorotan publik. 


Korban melalui penasehat hukumnya, Andre Lado, S.H., desak aparat kepolisian untuk menuntaskan perkara ini tanpa penundaan, Pada Senin, (20/10/2025).


Berdasarkan informasi yang dihimpun awak media, menjelaskan bahwa peristiwa penganiayaan tersebut dilaporkan ke Polsek Maulafa sejak Sabtu, 16 Agustus 2025, sekitar pukul 13.00 WITA. 


Laporan tercatat dengan nomor: STPL / 89 / VIII / 2025 / SPKT / POLSEK MAULAFA / POLRES KUPANG KOTA / POLDA NTT.


Sebagaimana patut diketahui bahwa pihak kepolisian telah menetapkan seorang tersangka berinisial JKK alias Gany, warga Maulafa, setelah gelar perkara yang dilakukan Unit Reskrim Polsek Maulafa pada 6 September 2025 lalu.


"Status perkara saat ini masih P19 karena ada kekurangan administratif saat pelimpahan tahap I ke kejaksaan. Kami terus berkoordinasi agar segera masuk ke tahap II," ujar Andre


Meski sempat diberikan opsi penyelesaian melalui pendekatan Restorative Justice (RJ) oleh pihak kepolisian, korban secara tegas menolak jalur damai dan tetap memilih proses hukum demi menuntut keadilan.


“Kami sangat menjunjung tinggi prinsip RJ sebagai pendekatan alternatif. Namun, klien saya dengan tegas menolak. Sehingga saya harap semua pihak dapat menghormati keputusan ini sebagai hak hukum sekaligus hak asasi dia yang dilindungi undang-undang,” tegas Andre.


Kondisi korban Arianto Blegur usai dianiaya pelaku. (Foto : Dok Redaksi)


Dijelaskan pria yang dikenal sebagai praktisi hukum dan juga praktisi media di NTT tersebut mengatakan bahwa, penolakan korban terhadap upaya damai berlandaskan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.


“Menurut Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saya rasa cukup jelas bahwa UU tersebut menjamin hak-hak korban, antara lain mendapatkan perlindungan dan pendampingan hukum, menuntut pertanggungjawaban pelaku, mendapat keadilan, menolak perdamaian apabila tidak mencerminkan keadilan bagi dirinya,” ungkap Andre


Dirinya juga berpendapat bahwa dalam regulasi yang mengatur penyelesaian perkara melalui Restorative Justice, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dijelaskan bahwa RJ tidak berlaku dalam kondisi tertentu,


“Sesuai Perkap Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagaimana dijelaskan bahwa RJ tidak berlaku dalam kondisi tertentu yaitu tindak pidana termasuk kategori berat, kasus berdampak luas terhadap masyarakat serta korban menolak secara tegas untuk berdamai.” bebernya.


Pasal 351 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa penganiayaan berat diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun. Oleh karena itu, dalam konteks ini, pendekatan RJ menjadi terbatas penerapannya.


Andre berharap pihak kepolisian segera menyempurnakan berkas perkara dan melimpahkannya kembali ke kejaksaan. Sebab keterlambatan dalam proses hukum berpotensi menghambat keadilan yang seharusnya menjadi hak korban.


Kasus Arianto Blegur dapat menjadi cermin pentingnya penegakan hukum yang berpihak pada korban dan berlandaskan prinsip keadilan serta kepastian hukum, apalagi saat ini tersangka diketahui tidak sedang ditahan karena adanya upaya penangguhan.


Penulis : Berto Da Costa

Editor : Fajar Ali

𝓕𝓸𝓽𝓸 𝓣𝓮𝓻𝓫𝓪𝓻𝓾 :




Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler