Brigitte Macron Gugat Candace Owens di AS atas Tuduhan Transgender Palsu
ⒽⓄⓂⒺ

Brigitte Macron Gugat Candace Owens di AS atas Tuduhan Transgender Palsu

Minggu, Juli 27, 2025
Candace Owens tetap teguh pada komentar dan pernyataannya dalam seri podcast delapan bagian. Foto: Octavio Jones/Reuters


Star News INDONESIAMinggu, (27 Juli 2025). JAKARTA - Presiden Prancis Emmanuel Macron dan istrinya, Brigitte Macron, resmi mengajukan gugatan pencemaran nama baik terhadap komentator politik sayap kanan asal Amerika Serikat, Candace Owens, atas tuduhan yang mereka sebut sebagai “kebohongan yang terbukti salah dan menghancurkan.” Gugatan diajukan di Pengadilan Superior Delaware, AS, dan menjadi sorotan luas media internasional.


Brigitte Macron, 72 tahun, menjadi sasaran teori konspirasi daring sejak akhir 2021, termasuk klaim bahwa dirinya sebenarnya lahir sebagai laki-laki dengan nama Jean-Michel Trogneux—nama asli kakak laki-lakinya. Klaim ini, meskipun telah dibantah secara tegas dan dibuktikan tidak berdasar, kembali mencuat melalui podcast Owens bertajuk Becoming Brigitte yang tayang secara daring.


Dalam dokumen setebal lebih dari 200 halaman, pasangan Macron menuduh Owens menyebarkan “narasi mengerikan” tanpa dasar fakta, yang telah menyebabkan penderitaan pribadi dan kerusakan reputasi dalam skala global. Gugatan tersebut menyebut kampanye ini sebagai “perundungan tanpa henti” yang berlangsung selama bertahun-tahun, meski sudah diberikan peringatan hukum sebelumnya.


“Semua bukti, mulai dari akta kelahiran hingga foto-foto masa kecil, menunjukkan bahwa Madame Macron selalu menjadi perempuan,” demikian tertulis dalam gugatan yang diajukan pada 23 Juli lalu.


Brigitte Macron sebelumnya telah memenangkan kasus serupa di pengadilan Prancis pada 2024, namun upaya hukum kini diperluas ke Amerika Serikat, di mana Owens berdomisili dan aktivitas daringnya lebih banyak menjangkau audiens global.


Owens hingga kini belum memberikan tanggapan resmi atas gugatan tersebut, namun sempat menyebut tuduhan Macron sebagai “serangan terhadap kebebasan berbicara.”


Pakar hukum menilai gugatan ini sebagai langkah berani dari pemimpin dunia yang memilih untuk tidak tinggal diam menghadapi gelombang disinformasi digital. “Ini bukan hanya soal reputasi pribadi, tapi juga perlawanan terhadap normalisasi kebohongan di ruang publik,” ujar Prof. Elise Martin, ahli hukum media dari Universitas Sorbonne.


Kasus ini diprediksi akan menarik perhatian luas dan bisa menjadi preseden penting dalam perlindungan individu terhadap fitnah digital lintas negara.


Penulis : Cheyil Apriani

Editor : Willy Rikardus

𝓕𝓸𝓽𝓸 𝓣𝓮𝓻𝓫𝓪𝓻𝓾 :




Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler