Pendidikan Kita: Mencerdaskan Bangsa atau Menjinakkan Pikiran Kritis?
ⒽⓄⓂⒺ

Pendidikan Kita: Mencerdaskan Bangsa atau Menjinakkan Pikiran Kritis?

Sabtu, September 13, 2025
Oleh: Etmon Oba, S.H., Penulis adalah pegiat media massa. [Foto : Dok. Redaksi]


Star News INDONESIASabtu, (13 September 2025). KOTA KUPANG - Konstitusi kita sangat jelas dan tegas: negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat ini termaktub dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945—sebuah janji luhur bahwa pendidikan adalah hak, bukan privilese. Tapi di balik narasi mulia ini, tersimpan ironi yang sulit untuk diabaikan: benarkah negara benar-benar ingin rakyatnya cerdas?


Sebagai seseorang yang pernah melewati seluruh jenjang pendidikan formal hingga perguruan tinggi, saya tak bisa menahan pertanyaan ini: apakah pendidikan di negeri ini dirancang untuk mencerdaskan, atau justru membungkam?


Sejak dini, kita didorong—bahkan dituntut—untuk sekolah. Orang tua bekerja keras, memaksakan diri membayar seragam, buku, dan iuran demi keyakinan bahwa sekolah adalah jalan menuju masa depan. Namun di ruang kelas, kita lebih sering diajari untuk diam, patuh, dan mengikuti tanpa bertanya.


Murid yang kritis dianggap mengganggu. Mahasiswa yang mempertanyakan kebijakan publik dilabeli perusuh. Guru yang menyuarakan ketimpangan dimutasi. Seolah-olah berpikir adalah ancaman. Padahal bukankah inti pendidikan adalah membentuk manusia yang bernalar, berani berpikir, dan siap menantang ketidakadilan?


Kritik Bukan Dosa


Demokrasi sehat mensyaratkan rakyat yang mampu berpikir dan berani bersuara. Namun, realitas berkata lain. Kritik—terutama yang menyasar kekuasaan—dianggap sebagai gangguan. Reaksi negara terhadap suara-suara kritis tidak jarang bersifat represif.


Kita ingat gelombang mahasiswa tahun 2019 yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP. Alih-alih didengar, mereka dihadiahi gas air mata. Beberapa bahkan kehilangan nyawa, seperti Randi dan Yusuf di Kendari. Apakah suara mereka tidak layak didengar? Apakah mereka bukan bagian dari cita-cita konstitusi?


Begitu pula saat mahasiswa di berbagai kampus menolak kenaikan UKT tahun 2023. Bukannya dialog, yang datang justru tuduhan: "ditunggangi", "provokator", "anti-pemerintah". Padahal bukankah memperjuangkan akses pendidikan yang terjangkau adalah bagian dari kecerdasan sosial?


Ironinya, negara tetap gencar menjual slogan “SDM Unggul, Indonesia Maju”. Namun, bagaimana mungkin melahirkan SDM unggul jika keberanian berpikir justru dicurigai, dan kecerdasan sosial dianggap sebagai ancaman?


Pendidikan untuk Siapa?


Pendidikan idealnya membebaskan, bukan menjinakkan. Pendidikan harus membuat kita berani mengatakan “ini salah” meskipun kekuasaan menyebutnya benar. Pendidikan bukan sekadar proses cetak-mencetak ijazah, tapi proses memanusiakan manusia—dengan logika, empati, dan integritas.


Namun, pendidikan kita justru sering menjadi alat pelanggeng kekuasaan. Masyarakat didorong untuk patuh, bukan kritis. Dalam sistem seperti ini, kecerdasan menjadi barang berbahaya. Rakyat yang berpikir dianggap subversif. Inilah paradoks pendidikan kita hari ini: negara ingin rakyat sekolah, tapi jangan terlalu berani berpikir.


Demokrasi Butuh Rakyat Cerdas


Dalam demokrasi, kritik bukan ancaman, tapi vitamin. Bangsa yang besar tidak takut pada suara rakyatnya. Justru rakyat yang diam adalah pertanda demokrasi yang sakit. Jika semua hanya mengangguk, maka kesalahan akan terus terulang dalam hening.


Karena itu, rakyat cerdas pasti akan mengkritik. Dan sebaliknya, kekuasaan yang alergi terhadap kritik adalah kekuasaan yang tidak siap dengan kecerdasan rakyatnya.


Pendidikan sejati adalah ketika rakyat berani berpikir dan bersuara. Jika suara mereka dianggap melawan, maka sesungguhnya yang sedang dilawan bukan negara, melainkan penyimpangan dari cita-cita luhur bangsa.


Kesimpulan:


Kalau pendidikan hanya melahirkan lulusan yang cakap di atas kertas, tapi takut berbicara kebenaran, maka pendidikan itu gagal. Gagal melahirkan manusia merdeka. Gagal mewujudkan amanat konstitusi. Dan gagal menjadi jalan menuju keadilan.


Maka mari kita jujur: yang ditakuti penguasa bukan rakyat bodoh, tapi rakyat yang berpikir.


Dan itulah sebabnya pendidikan kita harus terus diperjuangkan agar tidak hanya mencerdaskan otak, tapi juga menyuburkan keberanian. Karena bangsa ini tidak akan maju oleh rakyat yang patuh, tapi oleh rakyat yang berani berpikir dan bersuara. ****


𝓕𝓸𝓽𝓸 𝓣𝓮𝓻𝓫𝓪𝓻𝓾 :




Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler