Pembuktian Hak Atas Tanah Hibah Lisan, Ini Penjelasan Hukum dari Herry Battileo
ⒽⓄⓂⒺ

Pembuktian Hak Atas Tanah Hibah Lisan, Ini Penjelasan Hukum dari Herry Battileo

Minggu, Agustus 10, 2025
Advokat kondang, Herry FF Battileo, S.H.,M.H., saat berikan penjelasan dihadapan wartawan terkait sengketa tanah hibah lisan yang marak di NTT, Minggu (10/8). Foto : Berto Da Costa/Regina Panjaitan


Star News INDONESIAMinggu, (10 Agustus 2025). KOTA KUPANG - Sengketa tanah akibat hibah secara lisan masih menjadi persoalan pelik di Nusa Tenggara Timur. 


Menurut Advokat kondang Herry F.F. Battileo, SH., MH., yang juga Ketua DPC PERADI Kabupaten Kupang, proses pembuktian hak atas tanah yang dihibahkan secara lisan sangat sulit dilakukan, terutama ketika tidak tersedia bukti tertulis atau akta resmi.


"Di masyarakat kita, proses peralihan hak atas tanah sering kali dilakukan hanya secara lisan, tanpa melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)," ungkap Herry saat ditemui di Kota Kupang, Pada Minggu, (10/8).


Ia menyebutkan bahwa banyak kasus hibah tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan sosial seperti pembangunan sekolah, gereja, atau masjid, justru digugat kembali oleh ahli waris pemberi hibah bertahun-tahun kemudian.


Herry yang dikenal sebagai Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Surya NTT ini menilai bahwa fenomena ini merugikan penerima hibah. 


"Secara hukum, jika tanah sudah dihibahkan, maka hak atas tanah sudah beralih. Tidak boleh diminta kembali hanya karena ahli waris merasa punya hak," tegasnya.


Dalam upaya pembuktian hak, Herry menjelaskan bahwa selain okupasi atau penguasaan tanah secara terus-menerus selama 20 tahun, kesaksian masyarakat dan bukti-bukti pendukung seperti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga penting. 


Hal ini sejalan dengan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang memperbolehkan pembuktian hak atas tanah berdasarkan penguasaan fisik jangka panjang.


Namun, menurut Herry, ketentuan ini masih menyisakan celah yang bisa menghambat proses penerbitan sertifikat, terutama jika ada keberatan dari pihak lain. 


"Keberatan tanpa dasar yang jelas tak seharusnya menghentikan proses hukum. Perlu ada batas waktu keberatan, maksimal 30 hari, dan dilanjutkan gugatan jika memang ada sengketa," tambahnya, merujuk pada Permen ATR/BPN No. 13 Tahun 2017.


Mantan jurnalis senior yang sementara masih menjabat Ketua DPW Media Online Indonesia (MOI) Provinsi NTT dan praktisi bela diri Shorinji Kempo itu juga menekankan terkait pentingnya pendekatan hukum yang tidak semata-mata formalistik. 


"Hakim tidak boleh hanya terpaku pada bukti tertulis. Mereka harus menggali kebenaran materiil, termasuk mempertimbangkan adat dan kebiasaan masyarakat setempat," ujarnya.


Dirinya mengingatkan bahwa Mahkamah Agung RI dalam beberapa yurisprudensinya telah menetapkan bahwa penguasaan tanah secara terus menerus dan beritikad baik dapat menjadi dasar legitimasi hukum. 


“Sebaliknya, orang yang tidak mengurus atau menduduki tanahnya selama puluhan tahun bisa dianggap telah meninggalkan haknya,” jelas Herry.


Kasus-kasus seperti ini, menurutnya, harus menjadi pelajaran penting bagi masyarakat untuk lebih cermat dalam melakukan peralihan hak atas tanah, terutama dengan membuat dokumen resmi untuk menghindari konflik di kemudian hari.


Penulis : Berto Da Costa

Editor : Regina Panjaitan

𝓕𝓸𝓽𝓸 𝓣𝓮𝓻𝓫𝓪𝓻𝓾 :




Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler