![]() |
Demi Uang Rp40 Juta per Bulan, Eks Marinir RI Jadi Tentara Rusia — Akhirnya Menangis Minta Pulang!. [Foto : Eddie Lim/Willy Rikardus] |
Star News INDONESIA, Jumat, (25 Juli 2025). JAKARTA - Kasus mantan prajurit Marinir TNI AL, Satria Arta Kumbara, yang viral setelah diketahui bergabung sebagai tentara bayaran di Rusia, menyoroti praktik rekrutmen militer asing oleh Kremlin.
Meski pihak keluarga menyebut keikutsertaan Satria bermotif ekonomi, laporan internasional mengungkap bahwa gaji tentara asing di Rusia memang cukup menggiurkan—namun dibarengi risiko besar dan ketidakpastian.
Dalam laporan investigasi dari Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL) yang terbit pada pertengahan 2024, disebutkan bahwa warga asing yang dikontrak oleh militer Rusia rata-rata menerima bayaran antara 200.000 hingga 240.000 rubel per bulan, setara dengan sekitar 2.200 hingga 2.500 dolar AS.
Jumlah ini berkali-kali lipat dari rata-rata gaji pekerja sipil di Rusia yang hanya berkisar 70.000–80.000 rubel.
Gaji tersebut ditawarkan kepada tentara asing maupun migran yang direkrut lewat berbagai jalur, mulai dari iming-iming penghasilan hingga janji memperoleh kewarganegaraan Rusia.
Laporan The Moscow Times menyebut bahwa Pemerintah Kota Moskwa bahkan menawarkan bonus pendaftaran mencapai 1,9 juta rubel, atau sekitar 21.800 dolar AS, kepada kontraktor militer baru.
Jika dihitung dengan insentif tahunan lainnya, total kompensasi seorang tentara asing bisa menembus angka 5 juta rubel lebih dalam satu tahun atau sekitar 60.000 dolar AS.
Bagi banyak warga negara asing yang berasal dari latar ekonomi lemah—termasuk mantan tentara seperti Satria—angka ini tentu menjadi tawaran yang sangat menarik.
Namun, realitas di lapangan tak selalu sejalan dengan janji yang ditawarkan. Dalam laporan investigasi mendalam bertajuk Systema, RFE/RL menemukan bahwa sejumlah tentara bayaran tidak menerima bonus atau perlindungan hukum seperti yang dijanjikan di awal kontrak.
Beberapa keluarga dari prajurit asing yang gugur bahkan kesulitan menuntut hak atau kompensasi, terutama jika korban bukan warga negara Rusia.
Strategi rekrutmen agresif Rusia mencakup banyak negara, terutama dari kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Dalam wawancara yang dipublikasikan oleh Deutsche Welle, pejabat keamanan Eropa mengakui bahwa Rusia aktif memasang iklan di media sosial dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab, Mandarin, dan Indonesia.
Video dan brosur digital menampilkan tentara bayaran yang tersenyum menerima dokumen kewarganegaraan atau memegang paspor Rusia, menegaskan bahwa militerisasi telah menjadi jalur “mobilitas sosial” bagi sebagian orang.
Satria Kumbara sendiri diduga direkrut melalui jaringan informal yang menargetkan veteran atau mantan militer yang kecewa atau kesulitan ekonomi.
Setelah viral di media sosial karena videonya menangis dan meminta pulang, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa yang bersangkutan telah kehilangan kewarganegaraannya, sesuai UU Keimigrasian dan peraturan TNI.
Hingga kini belum diketahui secara pasti apakah Satria benar menerima gaji dalam kisaran tersebut, namun dengan mempertimbangkan profilnya sebagai mantan pasukan elite dan target demografis program kontrak Rusia, dugaan bahwa ia ditawari bayaran sekitar 2.000 hingga 2.500 dolar AS per bulan cukup masuk akal.
Angka ini sejalan dengan laporan dari British Defense Ministry dan RFE/RL, yang menunjukkan bahwa warga asing menjadi tulang punggung perekrutan Rusia di tengah perang yang kian berkepanjangan.
Faktor ekonomi tetap menjadi pemicu utama banyaknya warga negara asing yang rela bertaruh nyawa sebagai tentara bayaran. Namun di balik imbalan materi yang tinggi, terdapat risiko besar: hukum yang tidak berpihak, perlindungan yang minim, dan kemungkinan kehilangan status kewarganegaraan seperti yang dialami Satria.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa di tengah konflik global, uang dan paspor bisa menjadi senjata rekrutmen yang lebih efektif daripada ideologi.
Penulis : Eddie Lim
Editor : Willy Rikardus