Dr. Marwan al-Sultan Dibunuh, Tapi Yang Mati Sebenarnya Kita Semua
ⒽⓄⓂⒺ

Dr. Marwan al-Sultan Dibunuh, Tapi Yang Mati Sebenarnya Kita Semua

Jumat, Juli 04, 2025
Gaza Tak Butuh Lagi Gencatan Senjata. Gaza Butuh Dunia yang Tidak Mati Rasa. Foto : Reuters


Star News INDONESIAJumat, (04 Juli 2025). JAKARTA - “Dokter sudah mati. Rumah sakitnya ikut mati. Tapi yang paling mati adalah kita semua.”


Begitu kata seorang perawat di Gaza, yang tidak sempat menangis karena mayat terlalu banyak dan waktu terlalu sedikit. Namanya tidak penting. Bahkan Gaza sudah terlalu penuh nama yang tidak sempat dikenang.


Dan malam itu, nama Dr. Marwan al-Sultan pun bergabung dalam daftar panjang orang baik yang mati karena dunia terlalu sopan untuk marah.


Ia bukan politisi. Ia bukan pemimpin perang. Ia tidak punya pangkat. Ia hanya seorang dokter jantung—tapi ironisnya, dunia yang berhenti punya hati membuatnya jadi sasaran rudal.


Israel bilang mereka memburu militan. Tapi rudal mereka memburu rumah. Memburu keluarga. Memburu kamar tidur. Memburu kehidupan. 


Dan kali ini, rudal itu sampai ke rumah seorang dokter. Menemukan istrinya. Menemukan lima anaknya. Dan membakar seluruh cerita yang belum sempat mereka hidupkan.


Sementara itu di Washington, para pejabat duduk tegak, berdasi. Membicarakan gencatan senjata seperti sedang memilih menu makan siang. 


Mereka bicara tentang stabilitas, sementara Gaza bicara dengan puing dan darah.


Kita semua penonton.

Menatap layar. Membaca berita. Membagikan unggahan. Lalu kembali makan. Gaza meledak — kita scroll.


Kita bilang kita peduli, tapi tak satu pun dari kita yang mengguncang meja kekuasaan dan bertanya:

“Berapa lagi yang harus dibunuh sebelum Anda berhenti menyebut ini 'hak membela diri'?”


Dr. Marwan telah tiada. Rumah Sakit Indonesia di Gaza—yang pernah dibanggakan negeri ini—jadi saksi kehancuran. Tapi siapa yang bicara keras soal itu? Siapa yang berani mengutuk? Siapa yang melempar sepatu ke layar PBB dan berkata: “Ini gila!”


Kita takut dianggap berlebihan. Kita takut kehilangan nuansa. Tapi Gaza tidak diberi hak untuk bernuansa. Di sana, hidup dan mati hanya dibedakan oleh jam berikutnya.


Ini bukan soal Palestina. Ini bukan soal Yahudi atau Muslim. Ini soal siapa yang masih bisa merasa.


Dan jika hari ini, setelah seorang dokter, istrinya, dan lima anaknya dimakamkan dalam satu lubang karena kita terlalu sibuk memediasi konflik, maka kita semua patut digugat — bukan oleh sejarah, tapi oleh anak-anak yang tidak sempat tumbuh.


Gaza tidak butuh belas kasihan. Gaza tidak butuh resolusi PBB ke-berapa pun. Gaza butuh keberanian kita—untuk berhenti bicara manis saat kematian sudah terasa asin.


Penulis : Tito Ibrahim

Editor : Burhanudin Iskandar


🅵🅾🆃🅾 🆃🅴🆁🅱🅰🆁🆄 :




Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler