Star News INDONESIA, Rabu, (18 Juni 2025). JAKARTA - Pasca-serangan rudal Iran ke wilayah Israel pada pertengahan Juni 2025, dunia disuguhkan gelombang pemberitaan seputar penderitaan psikologis warga Israel: dari anak-anak yang menangis di bunker, hingga warga yang mengaku takut keluar rumah.
Namun di balik narasi yang menggugah simpati tersebut, muncul dugaan bahwa Israel tengah membangun legitimasi moral untuk melakukan serangan militer lebih besar ke Iran.
Narasi Trauma: Pelindung atau Propaganda?
Media arus utama seperti The Jerusalem Post, Maariv, dan The Washington Post menggambarkan suasana psikologis yang tegang di berbagai kota Israel.
Laporan dari Israel Trauma Coalition menyebutkan banyaknya permintaan bantuan dari warga yang mengalami kecemasan, panik, dan ketakutan pasca-serangan.
Namun analis menilai narasi ini bisa lebih dari sekadar dokumentasi penderitaan: ia bisa menjadi strategi komunikasi publik untuk mendapatkan dukungan domestik dan internasional bagi eskalasi militer.
“Israel sedang membangun narasi bahwa rakyatnya tidak hanya diserang secara fisik, tetapi juga mental. Ini berbahaya karena bisa menjadi justifikasi politik untuk menyerang lebih keras,” ujar seorang pengamat geopolitik dari Universitas Tel Aviv, yang tak ingin disebut namanya.
Legitimasi Emosional untuk Perang Fisik
Menyusul narasi psikologis ini, Israel langsung meningkatkan mobilisasi pasukan cadangan, memindahkan sistem pertahanan, dan menyiapkan operasi militer di kawasan yang dekat dengan perbatasan Lebanon dan Suriah.
Narasi penderitaan psikologis warga menjadi bahan utama pidato-pidato politik dari pejabat tinggi, termasuk Perdana Menteri.
Slogan seperti “melindungi rakyat secara menyeluruh” kini bermakna ganda: bukan hanya dari ancaman rudal, tetapi juga dari “ancaman mental” — yang pada akhirnya dapat membenarkan serangan ke jantung kekuatan Iran.
Opini Publik Dunia: Target yang Tak Terlihat
Israel dikenal mahir dalam membentuk opini publik global. Dalam situasi ini, framing media soal penderitaan psikologis warga bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri, tetapi juga ditujukan kepada dunia barat.
Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang secara tradisional mendukung Israel, bisa lebih mudah memberikan “lampu hijau” atas nama perlindungan rakyat sipil.
Sementara itu, Iran justru menuduh Israel memutarbalikkan fakta. “Kami merespons setelah diserang di Damaskus. Kini mereka gunakan penderitaan untuk menyerang balik secara besar-besaran,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran dalam konferensi pers di Teheran.
Perang Dimulai dengan Cerita, Bukan Rudal
Narasi penderitaan psikologis warga Israel memang bisa jadi nyata. Tapi ketika hal ini dikombinasikan dengan mobilisasi militer dan seruan pemimpin politik untuk “serangan total”, dunia perlu waspada. Sebab, perang modern tak hanya dimulai dengan rudal atau tank — tapi dari kisah yang mengundang simpati.
Israel saat ini bukan hanya berperang di medan tempur, tetapi juga di ranah opini dan emosi global. Dan jika narasi ini berhasil mengunci dukungan internasional, maka langkah berikutnya bisa jadi adalah serangan besar-besaran dengan justifikasi yang telah disiapkan dengan cermat.
Penulis : Tito Ibrahim
Editor : Burhanudin Iskandar