Gelombang Protes “No Kings” Guncang Amerika, Warga Menolak Trump sebagai Simbol Kekuasaan Absolut
ⒽⓄⓂⒺ

Gelombang Protes “No Kings” Guncang Amerika, Warga Menolak Trump sebagai Simbol Kekuasaan Absolut

Minggu, Juni 15, 2025
Aksi protes "No Kings" di Philadelphia. Foto: Wolfgang Schwan/Anadolu via Getty Images


Star News INDONESIAMinggu, (15 Juni 2025). JAKARTA - Ribuan kota di seluruh Amerika Serikat dipenuhi lautan massa yang turun ke jalan dalam sebuah gerakan yang disebut “No Kings”. 


Aksi ini bukan sekadar demonstrasi—tetapi menjadi ekspresi nasional terhadap kekhawatiran akan arah pemerintahan Presiden Donald Trump dan simbolisme parade militernya yang megah namun kontroversial.


Gerakan “No Kings” muncul sebagai respons langsung terhadap parade militer besar-besaran yang digelar di Washington pada 14 Juni—bertepatan dengan ulang tahun Trump dan peringatan 250 tahun Angkatan Darat AS. 


Banyak pihak menilai parade ini sebagai pertunjukan kekuasaan yang tak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi Amerika, bahkan menyerupai apa yang kerap terlihat di negara-negara otoriter.


Di kota-kota seperti Los Angeles, Seattle, Philadelphia, dan Houston, warga dari berbagai latar belakang turun ke jalan. Suara-suara penolakan terhadap militerisasi pemerintahan sipil menggema di sepanjang jalan utama. Di Los Angeles, aksi yang semula damai berubah menjadi tegang saat polisi menembakkan gas air mata dan granat kejut ke arah massa, memicu kepanikan dan bentrokan. 


Sementara itu di Houston, ribuan keluarga imigran bergabung dalam aksi damai yang membawa pesan perlawanan terhadap kebijakan deportasi massal dan retorika rasis yang mereka anggap telah meningkat sejak Trump kembali berkuasa.


Tragedi juga melanda di Minnesota, ketika dua legislator Partai Demokrat ditembak mati di tengah meningkatnya ketegangan politik. Polisi menemukan selebaran “No Kings” di mobil tersangka, memicu kekhawatiran bahwa protes yang bermaksud damai mulai dikaitkan dengan aksi kekerasan, meskipun para penyelenggara gerakan dengan tegas membantah keterlibatan dalam insiden tersebut.


Di balik semarak parade militer yang menampilkan ribuan pasukan, kendaraan lapis baja, jet tempur, dan puluhan juta dolar anggaran, banyak kursi kosong terlihat di tribun kehormatan. 


Warga sipil dan pejabat lokal mengkritik penyelenggaraan parade sebagai pemborosan dan simbolisasi ego pribadi presiden.


Pemerintahan Trump sendiri merespons protes ini dengan langkah keamanan yang masif. Pasukan Garda Nasional, personel Marinir, dan polisi federal dikerahkan ke sejumlah kota besar. 


Trump menyebut para demonstran sebagai "radikal kiri yang anti-Amerika", dan berjanji akan “mengembalikan ketertiban dengan kekuatan besar”.


Namun, di tengah retorika itu, aksi “No Kings” menyampaikan pesan yang kuat: bahwa rakyat Amerika tidak akan diam melihat demokrasi dikesampingkan. 


Seruan seperti “Ini negara konstitusi, bukan kerajaan” dan “Tak ada tempat bagi diktator di negeri ini” berkumandang dari timur ke barat.


Lebih dari sekadar penolakan terhadap parade atau presiden, aksi ini mencerminkan keresahan mendalam terhadap polarisasi politik, krisis moral pemerintahan, serta ancaman terhadap kebebasan sipil. 


Para demonstran menuntut pemulihan supremasi hukum, independensi lembaga, dan penghormatan terhadap hak-hak warga.


Sabtu itu menjadi saksi bisu atas dua Amerika yang saling bertolak belakang: satu menyanjung kekuasaan dan kejayaan militer, satu lagi mempertahankan nilai-nilai sipil yang telah menjadi fondasi negara. Dan di antara keduanya, suara jutaan warga yang menolak menjadi diam, terus menggema di jalan-jalan.


Penulis : Eddie Lim

Editor : Septian Maulana

🅵🅾🆃🅾 🆃🅴🆁🅱🅰🆁🆄 :




Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler