Mengenang Tragedi Mei 1998 yang Menjadi Latar Belakang Lahirnya Reformasi
ⒽⓄⓂⒺ

Mengenang Tragedi Mei 1998 yang Menjadi Latar Belakang Lahirnya Reformasi

Minggu, Mei 25, 2025
Resim Orde Baru akhirnya berhasil lengser Pada Tanggal 21 Mei 1998.


Star News INDONESIAMinggu, (25 Mei 2025). JAKARTA - Menjelang akhir 1990-an, Indonesia berada di ambang krisis besar. Krisis moneter Asia yang dimulai pada Juli 1997 menghantam perekonomian nasional dengan dahsyat. 


Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jatuh dari sekitar Rp2.500 menjadi lebih dari Rp10.000 dalam waktu singkat. Inflasi meroket, harga kebutuhan pokok melambung, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan.


Namun, krisis ekonomi ini hanyalah pemicu. Akar masalahnya jauh lebih dalam: ketidakadilan struktural, maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta tertutupnya ruang demokrasi. 


Selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru di bawah Soeharto menciptakan sistem kekuasaan yang sangat terpusat dan represif. 


Kelompok kritis dibungkam, media dikontrol, dan kekayaan negara dikuasai oleh segelintir elite yang dekat dengan penguasa.


Puncak Kemarahan: Kerusuhan dan Tuntutan Reformasi

Pada Mei 1998, kemarahan rakyat meledak. Aksi mahasiswa yang telah berlangsung sejak awal tahun mencapai klimaks. 


Mereka turun ke jalan, menggelar demonstrasi damai, dan menduduki gedung DPR/MPR. Di sisi lain, rakyat kecil yang terhimpit ekonomi mulai turun ke jalan dalam bentuk kerusuhan.


Antara 12–15 Mei 1998, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya mengalami kerusuhan massal. Ribuan toko dijarah, ratusan gedung dibakar, dan ratusan orang tewas—sebagian besar akibat terjebak dalam gedung yang terbakar. Yang paling menyayat adalah munculnya kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa: penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan yang hingga kini masih menyisakan luka dan trauma mendalam.


Akhir Sebuah Era

Di tengah kekacauan, tekanan terhadap Soeharto terus meningkat. Para mahasiswa dan tokoh masyarakat menyuarakan satu tuntutan yang jelas: "turunkan Soeharto". Bahkan wakil presiden saat itu, B.J. Habibie, dan sejumlah jenderal mulai menjaga jarak dari presiden.


Pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Ia menyerahkan kekuasaan kepada B.J. Habibie. Tangis dan sorak pun pecah di berbagai sudut negeri. Bagi sebagian orang, itu adalah hari kemenangan. Bagi yang lain, itu adalah awal dari jalan panjang menuju demokrasi.


Reformasi: Jalan yang Tak Selalu Mudah

Era Reformasi pun dimulai. Sejumlah perubahan besar segera dilakukan: pemilu yang lebih demokratis, kebebasan pers, pembatasan masa jabatan presiden, serta lahirnya lembaga-lembaga pengawas seperti KPK.


Namun, seperti sejarah banyak negara, reformasi di Indonesia juga diwarnai pasang surut. Korupsi masih terjadi, reformasi hukum lamban, dan oligarki politik kembali menguat. 


Meski begitu, gerak demokrasi tak bisa dihentikan. Suara rakyat hari ini lebih kuat dibanding masa Orde Baru, dan ruang kebebasan tetap terbuka meski terus diuji.


Mengingat dan Melanjutkan

Tragedi Mei 1998 bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah cermin dan peringatan. Kita diingatkan bahwa kebebasan dan keadilan harus terus diperjuangkan. 


Bahwa perubahan bukan datang dari langit, tapi dari keberanian orang-orang biasa untuk berdiri melawan ketidakadilan.


Saat kita mengenang peristiwa itu, marilah kita juga menatap ke depan—dengan semangat reformasi yang sejati: membangun Indonesia yang lebih adil, demokratis, dan berpihak pada rakyat.


Penulis : Deni Suprapto

Editor : Maria Patricia

πŸ…΅πŸ…ΎπŸ†ƒπŸ…Ύ πŸ†ƒπŸ…΄πŸ†πŸ…±πŸ…°πŸ†πŸ†„ :




Bagikan ini ke

ⓈⒽⒶⓇⒺ :

Komentar Anda

TerPopuler