![]() |
Star News INDONESIA, Sabtu, (14 Juni 2025). JAKARTA - Kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar khayalan fiksi ilmiah. Dari chatbot hingga mobil tanpa sopir, teknologi ini telah merambah ke hampir setiap aspek kehidupan manusia.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, muncul pertanyaan besar: apakah AI dikembangkan dengan etika? Siapa yang mengatur agar teknologi ini tidak disalahgunakan?
Di Indonesia dan dunia, diskusi tentang etika AI semakin menjadi sorotan. Etika AI adalah prinsip moral yang digunakan untuk memastikan bahwa AI bertindak sesuai dengan nilai-nilai manusia—tidak bias, tidak diskriminatif, dan tidak membahayakan. Misalnya, bagaimana jika algoritma rekrutmen kerja ternyata memihak ras atau gender tertentu?
“AI yang tidak transparan dan tidak diawasi bisa menimbulkan ketidakadilan baru,” kata Dwi Wibowo, pakar teknologi dan kebijakan digital dari Universitas Indonesia. Ia menambahkan bahwa salah satu bahaya besar adalah deepfake—video palsu yang bisa merusak reputasi seseorang dalam hitungan detik.
Di sisi lain, regulasi AI masih menjadi pekerjaan rumah. Uni Eropa telah meluncurkan EU AI Act, undang-undang pertama di dunia yang mengelompokkan AI berdasarkan tingkat risikonya: tinggi, sedang, atau rendah. Tapi bagaimana dengan Indonesia? Saat ini, belum ada payung hukum spesifik yang mengatur AI secara menyeluruh.
Pemerintah Indonesia baru mulai membahas kerangka hukum AI lewat pendekatan lintas sektor, termasuk melalui Kementerian Kominfo dan Badan Riset Nasional. Tapi banyak pakar menilai bahwa regulasi harus segera dipercepat, terutama dengan masuknya AI dalam sektor-sektor vital seperti keuangan, pendidikan, dan pertahanan.
Masalahnya, terlalu banyak regulasi bisa menghambat inovasi. Tapi tanpa regulasi, kita bermain dengan api. Inilah dilema yang sedang dihadapi dunia saat ini. Maka, solusi ideal adalah membangun AI yang etis sejak awal, sembari menciptakan kebijakan yang adaptif dan inklusif.
Yang jelas, AI bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu tidak hanya di tangan ilmuwan dan pemerintah, tapi juga masyarakat yang harus kritis dan melek digital.
Penulis : Hans Werang
Editor : Fajar Ali