![]() |
Ilustrasi : Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Foto : Eddie Lim/Burhanudin Iskandar |
Star News INDONESIA, Sabtu, (31 Mei 2025). JAKARTA - Retorika keras Amerika Serikat terhadap Republik Rakyat China bukanlah semata propaganda geopolitik.
Berdasarkan serangkaian wawancara dengan analis intelijen, pakar ekonomi, serta bocoran dokumen pertahanan, ancaman China dipandang riil oleh kalangan pembuat kebijakan di Gedung Putih, Pentagon, hingga Silicon Valley.
Dominasi Teknologi dan Persaingan Inovasi
Amerika melihat kebangkitan teknologi China — khususnya dalam kecerdasan buatan, sistem pengawasan massal, dan jaringan 5G — sebagai ancaman langsung terhadap dominasi teknologinya.
Perusahaan seperti Huawei, ZTE, dan Baidu tidak hanya menjadi pesaing komersial, tapi juga dinilai menjadi perpanjangan tangan negara untuk pengumpulan data dan intelijen.
“Teknologi 5G bukan hanya soal kecepatan internet, ini soal siapa yang mengendalikan arsitektur informasi global,” ujar Michael Barkley, analis keamanan siber di Brookings Institution.
Ekspansi Militer dan Provokasi di Kawasan Indo-Pasifik
China telah meningkatkan kehadiran militernya di Laut China Selatan, membangun pangkalan buatan, mempersenjatai pulau-pulau sengketa, dan menekan negara-negara ASEAN yang memiliki klaim teritorial. Pentagon menyebut manuver ini sebagai “strategi area denial” untuk menantang kehadiran AS dan sekutunya di Indo-Pasifik.
Latihan militer bersama AS dengan Jepang, Filipina, dan Australia semakin intens sebagai tanggapan atas manuver provokatif Beijing.
Perang Siber dan Operasi Intelijen Tersembunyi
Laporan tahun 2024 dari NSA menyebut China sebagai pelaku utama serangan siber terhadap infrastruktur Amerika, termasuk serangan terhadap perusahaan energi dan fasilitas pertahanan.
Selain itu, kegiatan spionase konvensional melalui badan-badan akademik dan ekonomi juga meningkat tajam.
“China menjalankan operasi pengumpulan intelijen skala industri, dan targetnya bukan hanya pemerintah, tapi juga sektor swasta,” kata agen FBI yang enggan disebut namanya.
Ketergantungan Ekonomi dan Jebakan Utang Global
Meski saling terikat secara ekonomi, AS khawatir terhadap strategi China dalam mengendalikan rantai pasok global — khususnya bahan baku penting seperti logam tanah jarang, serta dominasi industri manufaktur.
Lewat proyek-proyek seperti Belt and Road Initiative, Beijing diduga membangun 'jebakan utang' yang memperluas pengaruhnya secara global.
Taiwan: Titik Nyala Konflik Langsung
Dukungan AS terhadap Taiwan dianggap oleh Beijing sebagai pelanggaran prinsip 'Satu China'. Kunjungan pejabat tinggi AS ke Taipei dan penjualan senjata terbaru memicu peningkatan ketegangan.
Konflik terbuka di Selat Taiwan kini dinilai sebagai salah satu skenario perang paling mungkin oleh RAND Corporation.
Tudingan AS terhadap China bukanlah tanpa dasar. Yang menjadi sorotan utama adalah kombinasi antara ekspansi kekuasaan, pengaruh global, serta cara Beijing mengaburkan batas antara aktor negara dan non-negara. Dalam pandangan strategis Amerika, China bukan hanya pesaing dagang atau rival militer — tetapi kekuatan yang menantang tatanan internasional liberal yang selama ini dibentuk oleh AS sejak akhir Perang Dunia II.
Penulis : Eddie Lim
Editor : Burhanudin Iskandar